UTANG ITU BAK PISAU YG TAJAM

Bahkan Jokowi sendiri yg berbicara, dalam situasi seperti ini, semua pikiran dan tindakan harus didasarakan kepada situasi krisis (sense of crisis). Tapi contoh yg sederhana, apa yg dikatakan oleh beliau tsb, adalah tindakan yg tojai’ah. “Mengecat ulang Pesawat Kepresidenan, yg menghabiskan uang milyaran rupiah”, yang dulu kelakuan seperti itu dikiritik oleh si Fajroel Rahman.

Tapi curhat saya kali ini adalah soal Defisit Anggaran. Ia secara sederhana bisa dijelaskan, yaitu ketidak-seimbangan antara Pemasukan (kemampuan) dan Pengeluaran (hasrat/keinginan). Arti lebih jaunya adalah “tak tau diri”.

Untuk menyehatkan Neraca tersebut, maka banyak caranya. Bisa dengan mendorong peneriman yg lebih tinggi (desired) atau mengurangi/cut off rencana program yg tidak bermanfaat.

Rupanya cara tadi, mentok, maka langkah lain adalah, dengan mencari “utangan”.

Ini bisa baik atau bisa menjadi tambah buruk. Bak pisau yg tajam, memotong leher kambing atau memikam diri sendiri.

Bila Utang itu, dibelanjakan untuk program-program yg kemudian akan mendorong kepada pertumbuhan ekonomi, maka itu langkah yg smart. Tetapi bila sebaliknya, itu artinya sedang menggali kuburan sendiri.

Setiap belanja APBN, adalah harus berujung pada kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. Nah membayar cicilan utang dan cicilan bunga, adalah belanja negara yg sia-sia, tidak berdampak sama sekali kepada pertumbuhan dalam negeri.

Apalagi untuk membayar bunga cicilan itupun, harus ngutang lagi.

JOKOWI TAK MENGERTI SAMBUNG RASA

Salah satu yg tidak digarap secara serious oleh regim Jokowi itu, adalah Komunikasi Sambung Rasa dengan rakyat. Memahami keadan rakyat. Oleh karena itu, program penanggulangan pandemic ini, gagal. Kita percaya soal penanggulangan currative itu, sdh tepat, sesuai dengan standard, bahkan, international. Tetapi persoalannya, bukan disitu, tetapi ia ada pada kesadaran rakyat. Nah ini yg tidak di garap oleh Jokowi,

silahkan simak…