Kalau Jokowi Mencalonkan diri sebagai Gubernur di Bali.

Sering dilupakan kalau kekuatan budaya itu adalah kekuatan bangsa itu sendiri. Bali yang sejak tahun 1970an sudah go international, masuk pada era global, justru keutuhan nilai-nilai budayanya semakin mengkristal. Buktinya, walau di pantai Kuta atau seminyak atau di daerah uluwatu, tourist asing ada yang suka nudist di pantai-pantai, berpakaian seronoh di jalan-jalan, masyarakat Bali tidak ikut-ikutan bugil seperti Bule Bule itu. Malahan sebaliknya, jutsru tourist asinglah yang berusaha menyesuaikan diri dengan adat istitadat orang Bali, seperti menggunakan tata busana Bali saat masuk ke pura pura, dlsb.

Yang menarik kita fahami adalah, kalau kita membuat simulasi, taruhlah Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur di Bali, apakah kemungkinan akan terjadi seperti di Jakarta!? Artinya walaupun dengan menggunakan aturan yang ada, seperti UU no. 32/2004, akankah disambut oleh warga Bali!?

Sebagai orang yang merasa Bali sebagai the second homeland, maka saya berani mengatakan “tidak mungkin”. Ada alasan yang kuat untuk itu. Seperti yang saya ilustrasikan, hampir tidak pernah kita lihat orang Bali ikut-ikutan telanjang di pantai. Hampir tidak pernah kita lihat orang Bali, berpakaian seronoh kaya bule-bule di jalan-jalan. Budayanya utuh kuat dan tidak mencair dengan budaya asing pendatang.

Iseng saya tanyakan kepada bli Gede, seandainya Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur di Bali. ” Tak mungkin Pak, karena Jokowi bukan orang Bali dan Tidak beragama Hindu”, tukasnya. “Nantinya akan menuai berbagai masalah”, lanjutnya.

Cerdas!.

Orang jakarta berbeda. Warga yang ingin memiliki kedaulatan untuk memilih cagub, harus membuktikan dirinya memiliki KTP selaku warga Jakarta. Tetapi ironinya, calon gubernur dan wagubnya, bukan penduduk Jakarta. Inilah yang tidak mungkin di Bali dan di negara-negara bagian di Amerika, mungkin terjadi di Jakarta.

Indonesia memang aneh!.