My God and Your God are God

There are two statements are defined as human God in the Qur’an; First word “Rab” and the second word “Allah”. Both we can classified as “God”. Let us consider the following verse: “ya ayuhannas ittakurobbakum”, which means “hey men, obey to the Rabb”. Then another verse is: “yes ayuhaladzina amanu ittakullah”, which means “hey  faithful people obey to Allah.”

Two verses are commanding or command in the Qur’an, which are devoted to all the people to the God, and the second command to the faithful people to obey to Allah. So here seems obvious, al-qur’an ordered devoted to God and to Allah. So that means anyone’s God doesn’t matter.

In simple terms, taqwa means to obey his orders and to avoid  his prohibitions.

This is a tolerant verse. It must be understood as inter-religious blame. The verse should be the attitude of respect and appreciation to the belief that difference. This verse explains that people do not believe the same. This paragraph should be a mindset, her special to Muslims, to see that the God beyond Allah is the same. This paragraph should be a source of behavior and attitude.

What do you think?

 

Tuhan-Ku, Tuhan-Mu adalah Tuhan

Ada dua statemen yang diartikan sebagai sesembahan manusia didalam al-qur’an; Pertama kata “Rab” dan yang kedua kata “Allah”. Dua-duanya adalah bisa kita sejeniskan sebagai “Tuhan”. Coba kita simak ayat  berikut: “ya ayuhannas  ittakurobbakum”, yang artinya “hei manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu”.  Lalu ayat lain adalah : “ya ayuhaladzina amanu ittakullah”, yang artinya “hey orang-orang yang beriman bertaqwallah kepada Allah”.

Dua ayat tersebut adalah amar atau perintah didalam al-qur’an, yaitu kepada seluruh manusia untuk bertaqwa kepada Tuhannya, dan perintah yang kedua kepada yang beriman untuk bertaqwa kepada Allah. Jadi disini tampak  jelas, al-qur’an memerintahkan untuk bertaqwa kepada Tuhan dan kepada Allah. Jadi  artinya siapapun sesembahan manusia tidak di pedulikan disini.

Dalam terminologi yang sederhana, taqwa artinya melaksanakan perintahnya dan mejauhi larangannya.

Inilah ayat tolerasnsi. Ayat yang harus di fahami sebagai tidak saling menyalahkan antar umat beragama. Ayat yang harus menjadi sikap respek dan apresiasi kepada keyakinan yang berbeda-beda itu. Inilah ayat yang menjelaskan bahwa manusia tidak  berkeyakinan sama. Inilah ayat yang harus menjadi mindset, khusus nya kepada umat Islam, untuk melihat bahwa Tuhan di luar Allah adalah  sama saja. Inilah ayat yang harus menjadi sumber untuk bersikap dan berbuat.

Benar ngga yah?

Ternyata New Zealand Lebih Islami dp Indonesia

Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140., dikutip dari kompas.com

Sebenarnya tidak perlu terkejut membaca hasil penelitian tersebut, karena memang Islam di indonesia, hanya besar dalam pikiran kita saja. Realitanya justru di luar perkiraan semua. Perhatikan Pemilu tahun 1955, hasil raihan kumulatif dari partai-partai yang berideologi Islam hanya sekitar 30% lebih sedikit. Kalah telak oleh PKI yang memenangkan raihan suara, pada pemilihan putaran kedua hampir disemua tingkat pemilihan Daerah. Di era orde baru, partai Islam, seperti NU, SI, MI dan Perti berfusi menjadi PPP, suaranya tiap pemilu malah terus turun. Pada Pemilu 2014, tinggal PPP yang masih membawa bendera islam. PKS, sudah menjadi partai terbuka. Sementara PKB, akan semakin ditinggalkan oleh publiknya.

Peneltian tersebut dengan mengajukan ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Arti dari semua ini adalah, ternyata nilai-nilai keimanan itu dalam tanda kutip, tidak otomatis serta merta melahirkan tata nilai yang Islami. Tetapi pada bangsa-bangsa yang telah berperadaban “maju”, seperti German atau Jepang, justru disanalah tumbuh sistem nilai yang Islami, minus keimanan tersebut. Ini dibuktikan oleh sejumlah Kiai yang diminta untuk memahami, bagaimana kehidupan bangsa-bangsa tersebut, dilihat dari kacamata ke islaman.

Selanjutnya, saya kutip lagi tulisan dari kompas.con sbb : Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.

Merindu Nasionalisasi Indonesia

Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan

Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.

Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.

Manusia berani

Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.

Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.

Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidak peduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.

Bangsa Indonesia mampu membikin ”siapa tahu” dan ”kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan ’wi’ telah menyekunderkan ’Joko’. ’Wi’ itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.

Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.

”Jokowi” itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam ”harus jelek” bahkan ”miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo pula. Kalau ”Prabowo” masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum ”wong Jowo”.

Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus ”mudik ke Jawa”.
Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.

Bukan kendali manusia

Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.

Waktu pun tidak linier, meskipun kita menitinya melalui garis linier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.

Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan benar itu Foke atau Jokowi.

Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.

Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi ”Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah.”

Mencari asal

Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur ”sangkan paran”, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada diri sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.

Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Semar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di Bumi”. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.

Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa ”bukan ini Indonesia”. Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.”

Bagaimana perasaan anda. Pikirkan, pikir itu pelita hati!

Indonesiaku Aneh Sendiri

Ketika Indonesia menganut system Parlementer, pada jaman Orla dan Orba, artinya rakyat memilih partai politik pada setiap pemilu. Apa yang terjadi? Di Jaman Orla, terjadi hal yang aneh, saat pelaksanaan Pemilu 1955. Dari sekian peserta Partai Politik Pemilu tersebut, ada diikuti oleh peserta no. 28, yaitu peserta non partai alias perorangan. Ia adalah R. Soedjono Prawirisoedarso dan berhasil duduk sebagai anggota konstituante.

Pada era Orde Baru, Presiden Suhartolah yang mengklaim, “melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara Murni dan Konsekuen”. Apa yang terjadi? Partai pemenang pemilu, selama 6 kali, Golkar, tidak otomatis menempatkan ketua Umumnya menjadi Presiden/Perdana menteri. Karena Presiden harus dipilih pada sidang Umum MPR RI. Lazimnya (fatsoen system parlementer), partai pemenang pemilu otomatis menjadi Pemimpin pemerintahan. Akhirnya kejadian Gusdur yang datang dari partai kecil, PKB, berhasil dipilih menjadi Presiden RI. Walau kemudian di jatuhkan kembali oleh pemilihnya!. Presiden Habibi ditolak laporan pertanggung jawabannya oleh Partainya sendiri, sehingga tidak bisa mencalonkan kembali sebagai Presiden.

Pada era reformasi, system politik sudah berganti dari system parlementer ke system presidential. Disini lebih banyak lagi hal yang aneh. Calon Presiden boleh koalisi antar dua partai. Akhirnya ketika berhasil menjadi Presiden dan wakilnya, menjelang pemilu berikutnya, dua-duanya bersaing untuk berebut kursi Presiden. Terjadi pada waktu Megawati dan hamzah Haz, pemilu 2004. dan SBY-JK pada waktu pemilu 2009.

Di DPR terjadi koalisi Partai-partai pendukung SBY dan oposisi kepada the ruling Party. Hal ini hanya lazim terjadi dalam system Parlementer. Didalam system Presidential Rakyat tidak memilih partai, melainkan nama perorangan, tetapi di DPR terbentuk fraksi-fraksi parpol.

Karena System Yg Buruk Jokowi Minggat

Tulisan ini sebenarnya hanya ingin memberi ilustrasi bagaimana mempermudah pemahaman kita akan arti pentingnya System Politik yang baik. Coba perhatikan, karakterisitik orang mengendarai modil di Jalan Toll. Siapapun orang yang masuk jalan toll, apakah ia sopir Bis antar Kota, Angkutan Kota, Mikrolet Mini, Mobil Tentara, Profesor yang nyopir,  mereka bisa relatif tertib, teratur dan berperedaban tinggi bak layaknya di negeri orang.

Bangga sekali aku, bangsa ini koq bisa ya ber-akhlaq seperti layaknya terjadi di negeri-negeri maju!.

Tetapi sebaliknya, begitu mereka itu keluar jalan Toll, masuk ke jalan jalan bukan toll, yang mikrolet, bus antar kota, bahkan si profeseor  tadi itu sekalipun, mereka bak ikan di lemparkan ke kolam air, seperti kembali ke habitatnya, amburadul lagi. Ugal-ugalan, nyerobot hak orang, zig zak, ambil penumpang dan menurunkan sembarangan. Macet.

Inilah yang membuat kita malu sebagai suatu bangsa!. Tidak bermartabat.

Kesimpulan kita adalah, dalam system yang baik, seperti sopir-sopir yang biasa brutal, bisa tertib dan menertibkan diri ketika masuk ke jalan toll. Dan sebaliknya, profesor sekapipun bila ia masuk kedalam system yang tidak baik, maka ia larut dalam perilaku system yang buruk tersebut.

Inilah gambaran system ketata negaraan kita. siapapun Presidenya, siapapun Menterinya, siapapun anggota Dewannya, siapapun Ketua KPKnya, Siapapun Kapolrinya,dst, karena hidup dalam system yang baruk, maka performance mereka sulit menjadi baik.

3 Presiden kita di jatuhkan. Usai tugasnya, Presiden wan wakilnya berebut kursi kepresidenan, perhatikan Megawati dan Hamzam Haz dan SBY -JK. Campur aduk antara wilayah karir dan wilayah politik. DPR memilih, Kapolri, Panglima TNI, Ketua KPK, dst. DPR tidak mengerti hakekat tugas pokoknya. Polisi, Jaksa, Hakim dan sekaligus Pengacara menjadi seolah-olah system yang meruntuhkan hukum keadilan itu sendiri. Managemen Pembangunan tidak sistemik sebagai suatu proses politik, karena kontrak sosial presiden tidak di fahami sebagai janji kepada rakyat. Artinya antara Kontrak sosial dan proses penganggaran dan program pembangunan berjalan-jalan masing-masing.

Siapa yang salah? Konstitusi kita, karena Konstitusi mengaturnya seperti itu. Jadi Jokowi sekalipun, walau belum tuntas melaksanakan tugasnya,  ya  minggat dari Solo, dan tidak akan pernah mudah mengatur  Jakarta, dalam systemnya yang buruk itu!.

Sitem Presidential dan Sistem Parlementer

(Disarikan dari: Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, 2007). 

A. Sistem PARLEMENTER

1. Ciri Umum.

a. Sistem parlementer bisa terjadi pada negara berbentuk republik ataupun kerajaan (monarkhi parlementer).
b. Dalam sistem parlementer fungsi kepala negara terpisah dengan kepala pemerintahan.
c. Kepala Negara (KN) bisa seorang Kaisar, Raja/Ratu, Syah, Sultan (monarkhi), atau Presiden (republik). KN adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan.
d. Kekuasaan pemerintahan adanya di parlemen. Maka, dalam sistem parlementer, obyek utama yang diperebutkan adalah parlemen.
e. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai.
f. Yang menguasai parlemen adalah apabila bisa menguasai suara parlemen sekurang-kurangnya, 50% + 1 , agar partai pemenang bisa melaksanakan program-programnya (melalui dan berdasarkan undang-undang).
g. Peran partai dominan, oleh karenanya sistem parlementer biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Kuat”. (Bambang Cipto, 1996: 11)

2. Proses Pembentukan Pemerintahan (melalui pemilu).

a. Partai-partai, melalui kader-kadernya (caleg), berkampanye menawarkan visi, misi, dan program partai, yakni tentang apa yang akan dilakukan pemerintah apabila partainya menang pemilu.
b. Konstituen memilih partai yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Pilihan konstituen atas tawaran partai pemenang adalah “Kontrak Sosial” (Rousseau) sistem parlementer. (Tidak dikenal istilah “Kontrak Politik”).
c. Partai pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu. Apabila suara partai pemenang < 50% + 1, maka diperlukan koalisi. Istilah “koalisi” hanya dikenal dalam sistem parlementer!
d. Partai pemenang (melalui parlemen) membentuk pemerintahan (Kabinet Parlementer) diketuai perdana menteri (PM) selaku kepala pemerintahan (KP). Kabinet bertanggung jawab pada parlemen.
Catatan:
Karena yang berjanji partai (bukan perorangan) maka penanggung jawab partai otomatis menjabata PM.
e. Partai pemenang disebut partai pemerintah (PP). Partai yang tidak memerintah menempatkan diri sebagai partai oposisi (PO), atau memilih netral.
f. Apabila perolehan suara legislatif <50% + 1, partai pemenang perlu membentuk koalisi (kabinet koalisi). Konsekuensinya menteri kabinet bertanggung jawab pada partai.
g. “Mosi Tidak Percaya” adalah pencabutan mandat kabinet oleh parlemen, artinya kabinet tidak lagi memiliki legitimasi. Kabinet harus mengembalikan mandat pada parlemen. Demikian pula parlemen. Lembaga tersebut juga tidak lagi memiliki legitimasi, dan parlemen pun harus bubar. Pembubaran parlemen dilakukan oleh Kepala Negara (raja, ratu, kaisar, sultan, presiden). Kabinet baru hanya bisa dibentuk setelah pemilu baru (pemilu sela, bukan dari hasil pemilu lama).
h. Parlemen & kabinet (legislatif & eksekutif) adalah faktor variabel.

B. Sistem PRESIDENSIAL

1. Ciri Umum.

a. Sistem presidensial hanya terjadi dalam negara berbentuk republik.
b. Dalam sistem presidensial fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan menyatu (namun tidak lebur) dalam satu figur, Presiden.
c. Kepala Negara (KN) dan Kepala Pemerintahan dijabat oleh Presiden. KN adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan.
d. Kekuasaan pemerintahan adanya di eksekutif/kabinet yang dipimpin Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Maka, dalam sistem presidensial, obyek utama yang diperebutkan adalah presiden.
e. Selaku pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. (Presiden dipilih rakyat bukan dipilih partai). Selaku kepala negara, Presiden adalah milik bangsa, maka tidak layak bila memangku jabatan ketua atau fungsionaris partai
f. Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab pada presiden. Dalam sistem presidensial tidak dikenal istilah kabinet koalisi. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai.
g. Parlemen (legislatif) dalam sistem presidensial memiliki dua fungsi utama. Pertama, menterjemahkan “Kontrak Sosial” presiden menjadi undang-undang (perdebatan bukan pada pro-kontra Kontrak Sosial melainkan pada upaya mempertajam program). Sistem presidensial tidak mengenal istilah Partai Oposisi.
h. Peran partai tidak dominan, kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan publik. Sistem presidensial biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Lemah” (Bambang Cipto, 1996: 41)

2. Proses Pembentukan Pemerintahan (melalui pemilu).

a. Calon presiden berkampanye menawarkan visi & program pemerintahan (bukan ideologi partai).
b. Konstituen memilih calon presiden yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Presiden terpilih adalah yang bisa meraih suara pemilih sekurang-kurangnya 50% + 1. Pilihan konstituen atas tawaran presiden terpilih adalah “Kontrak Sosial” (Rousseau), dalam sistem presidesial.
c. Fungsi parlemen/legislatif (uni kameral ataupun bikameral) dalam sistem presidensial adalah menterjemahkan “Kontrak Sosial” (janji kampanye presiden terpilih kepada rakyat) menjadi undang-undang (a.l., UU-APBN). Legislatif juga berfungsi selaku pengontrol kinerja Presiden.
d. Kendati diusung partai, legislatif lebih bersifat sebagai wakil rakyat ketimbang wakil partai. Tidak dikenal istilah partai oposisi.

Catatan:
1. Tentang HAK VETO.
Akhir-akhir ini muncul wacana perlunya presiden (Indonesia) memiliki Hak Veto, sebagai pengimbang kekuasaan parlemen/legislatif yang dirasakan terlalu kuat. Kalau benar alasannya demikian maka jelas tidak tepat. Adalah benar dalam sistem presidensial Hak Veto melekat dalam fungsi tugas presiden. Hak Veto bisa digunakan presiden terhadap RUU yang diajukan legislatif (hak inisiatif legislatif) yang dinilai presiden tidak termasuk dalam “Kontrak Sosial”-nya. Veto Presiden gugur apabila saat RUU diajukan kembali oleh legislatif dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota (artinya RUU tersebut merupakan aspirasi mayoritas rakyat).

2. Tentang multi partai dalam sistem presidensial.
Multi partai tidak ada kaitannya dengan sistem presidensial ataupun parlementer. Banyak atau sedikitnya partai tergantung pada pilihan sistem dalam pemilu. Produk sistem distrik adalah jumlah partai terbatas dan produk sistem proporsional adalah jumlah partai yang banyak. Pemilu di AS (sistem presidensial) dan pemilu di Inggris (sistem parlementer) hanya didominasi partai-partai besar saja.

3. Indonesia menganut sistem yang tidak jelas (sistem presidensial kuasi parlementer?!) yang menempatkan parlemen sebagai institusi dominan layaknya sistem parlementer.

Kasus Century Sbg Ketololan dan Blunder Politik

Saya hampir tidak percaya, ketika semalam pada acara Jakarta Lawyer Club, Permadi SH, saya ingin katakan sebagai representasi dari semua yang hadir malam itu, mengatakan; “segera SBY berhentikan sebagai presiden, baru bisa mengungkap kasus century”.

Kelihatannya seperti benar adanya, padahal sebenarnya tak ada alasan untuk memberhentikan SBY, berkaitan dengan kasus Century. Geli jadinya.

Mengapa demikian? Tahukan kalau kasus centrury itu terjadi pada saat Pemerintahan SBY 1. Dan yang akan di impeach adalah SBY 2. Relevankah?

Mari kita buat simulasi, kalau pemerintah SBY 1 itu, taruhlah  Presiden namanya si “Bego”, sedangkan SBY 2 Presiden itu namanya si “tolol”, akan kah kesalahan si Bego harus di pikul oleh si Tolol.

Hanya karena SBY 1 dan SBY 2 orang sama sama SBY, jadi seolah-olah itu adalah sama.

Yang kedua, apa pasalnya DPR RI pada pemerintahan SBY 2, merpemasalahkan pemerintahan SBY 1, yang tidak ada kaitan politiknya sama sekali.

Kasus Century saat ini adalah murni ranah criminal, jadi  fungsi politiknya hanya mengontrol kinerja lembaga-lemaba terkait, seperti KPK, Kejaksaan atau Kepolisian. Tidak ada agenda interpelasi apalagi impeachment.

Selanjtunya, silahkan renungkan berikutdi bawah ini:

Selama berbulan-bulan sekarang tengah berada dalam bahaya. Bahaya karena sudah sebulan kasus penggelontoran uang negara Rp6,7 triliun kepada sebuah bank sakit dan salah urus, Bank Century, itu seperti layang-layang putus. Terlunta-lunta tidak menentu arah.

Padahal, skandal itu amat mengguncang kredibilitas pemerintah karena menyentuh aspek sangat krusial dari clean and good governance, yaitu kejujuran. Begitu krusial skandal itu sehingga DPR pun menggunakan hak yang juga krusial dan perkasa, yaitu hak angket. Hak dewan yang memiliki derajat otoritas tinggi jika dibandingkan dengan hak-hak lainnya”. (Tajuk Rencana Media Indonesia-selasa 6 April 2009).

Membaca paragrap kedua tersebut, pertanyaan yang muncul dalam benak adalah, Pemerintah yang terguncang yang mana yang di maksud? Apakah Pemerintah Presiden SBY 2009~2014?!. Kalau benar pemerintahan ini, maka ini menjadi aneh. Sebab kasus Century adalah Soal Kebijakan Pemerintahan periode 2004~2009. Apa hubungannya dg Pemerintahann 2009~2014?!.

Tidak pernah di negara manapun di dunia, terjadi pengadilan terhadap soal “kebijakan” pemerintahan sebelumnya, diadili dalam pemerintahan yang berbeda.

Saya melihat persepsi kita terhadap kasus Bank Century ini, pada umumnya tidak pada tempatnya;

1. DPR periode 2009~2014 membentuk Pansus, mengadili Kebjiakan Pemerintahan periode yang lalu (2004~2009).

2. Presiden SBY (2009~2014), kalau tidak khilaf pernah menyatakan bertanggung jawab atas kebijakan yang dilakukan oleh Menkeu dan Gubernur BI- periode pemeritahan yang lalu 2004~2009-kebetulan Pak SBY juga Presidennya.

Akhirnya hasil kerja Pansus seperti ditulis pada paragrap berikutnya, yaitu:

Rekomendasi DPR yang dihasilkan melalui hak angket yang memiliki derajat otoritatif tinggi itulah yang sekarang sedang terlunta-lunta. Tidak terlihat bahwa rekomendasi angket yang otoritatif itu memiliki daya paksa untuk dilaksanakan.

Dan tindakan Pak SBY Presiden RI periode 2009~2014, menjadi seperti ini –dalam paragrap selanjutnya :

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi mendua terhadap rekomendasi angket. Secara verbal menolak, tetapi secara teknis SBY meneruskan rekomendasi itu kepada otoritas pelaksana, terutama otoritas penegakan hukum. Tetapi, sudah sebulan berlalu belum ada satu butir pun rekomendasi angket yang ditindaklanjuti.

Terus apa sikap aparat terkait, baca selanjutnya:

Komisi Pemberantasan Korupsi bolak-balik memanggil para pejabat Bank Indonesia. Tetapi, selalu dikatakan bahwa pemanggilan itu tidak berkaitan sama sekali dengan rekomendasi angket.

Kepolisian dan kejaksaan sama sekali belum bertindak apa-apa. Unsur-unsur pidana yang terindikasi dalam rekomendasi, seperti pelanggaran terhadap undang-undang perbankan dan pencucian uang, didiamkan saja.