Polisi Serbu Kampus Unas, Mahasiswa Serbu Mapolres

Jakarta (Bali Post) –
Bentrokan antara polisi dan mahasiswa tak terelakkan. Puluhan polisi dan mahasiswa mengalami luka-luka saat terjadi aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Nasional (Unas) yang menolak kenaikan harga BBM, Sabtu (24/5) kemarin.

Bentrokan terjadi sekitar pukul 05.00 WIB dipicu lemparan batu dan bom molotov kepada para aparat yang bertugas. Polisi pun membalas dengan menyerbu kampus Unas untuk menangkap mahasiswa. Akibat penyerbuan polisi, sejumlah sarana di dalam kampus Unas mengalami kerusakan parah dan puluhan kendaraan seperti sepeda motor juga dirusak. Selain itu, sekitar 148 mahasiswa ditahan dan kini sedang menjalani pemeriksaan di Polres Jaksel.

Dalam insiden itu, polisi menyita barang bukti antara lain minuman keras berbagai merek, jeriken isi bensin, celurit, ganja, ban bekas dibakar, serpihan bom molotov.

Pascapenyerbuan pihak kepolisian ke kampus Unas di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu kemarin, dibalas oleh mahasiswa dengan menyerbu Mapolres Jaksel. Ratusan mahasiswa yang sebagian besar tidak memakai jaket almamater itu duduk-duduk di depan Polres Jaksel sehingga tidak ada kendaraan yang dapat melintas. Praktis, pihak kepolisian selain tetap bersiaga juga mengalihkan lalu lintas agar tidak ada kendaraan yang bisa melintas di Jalan Wijaya II yang terletak di depan Polres Jaksel.

Para mahasiswa juga membentangkan spanduk di depan gerbang Polres Jaksel menolak segala bentuk tindakan premanisme yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Selain mahasiswa Unas, juga tampak Rektor Unas, Umar Basalim, yang juga datang ke Polres Jaksel untuk menjenguk sekitar 140 mahasiswa yang ditahan polisi.

Saat menenangkan mahasiswa, Umar mengatakan dirinya telah berbicara dengan Kapolres Jaksel Kombes Pol. Chairul Anwar yang telah meminta maaf atas insiden penyerbuan tersebut. Selain itu, kata Umar, pihaknya telah meminta agar para mahasiswa yang ditahan dapat dibebaskan dengan segera serta mendesak Kapolres untuk menindak anak buahnya yang telah bertindak di luar batas.

Setelah aksi yang dilakukan selama dua jam itu, akhirnya para mahasiswa berangsur-angsur membubarkan diri sekitar pukul 16.00 WIB.

Disesali DPR

Ketua DPR-RI Agung Laksono menyatakan DPR prihatin atas langkah aparat kepolisian menyerbu kampus Unas dan berharap kasus ini dapat diselidiki secara tuntas. “Saya menyampaikan keprihatinan atas kekerasan di kampus Unas,” tegasnya.

Agung bertemu dengan kalangan civitas akademika Unas sekaligus memberi pembekalan kepada wisudawan. Pertemuan itu beberapa jam setelah terjadi penyerbuan di Kampus Unas di Pasar Minggu. Mahasiswa melakukan unjuk rasa sejak Jumat malam untuk memprotes keputusan pemerintah yang menaikkan harga BBM.

Agung mengemukakan aksi unjuk rasa mahasiswa sebaiknya tidak dihadapi dengan tindakan represif. Aparat diharapkan mengedepankan dialog, apalagi aksi itu dilakukan di kampus.

Ketua Umum Perhimpunan Alumni Aktivis Unas, Aloysius Rebong, juga menyesalkan tindakan aparat kepolisian menyerbu ke dalam kampus universitas tersebut dan melakukan beragam tindakan anarkis. “Faktanya, ini bukan pengamanan, tetapi penyerbuan ke dalam kampus dan merusak sarana perkuliahan serta menangkap bahkan memukuli mahasiswa yang tengah berunjuk rasa,” katanya.

Sekretaris Perhimpunan Alumni Aktivis Universitas Nasional (Peraknas), Andi Gembul, mengatakan kondisi kampus dalam keadaan rusak parah. Belasan truk dikerahkan polisi untuk mengangkut pengunjuk rasa mahasiswa Unas yang terluka ke luar kampus menuju Polres Jakarta Selatan.

Di mata Perhimpunan Alumni aktivis Universitas Nasional, Aloysius Rebong, anggota Polri yang diterjunkan tidak bisa mengendalikan diri. Pihak kepolisian bertindak berlebihan dan melanggar kebebasan mimbar akademik. Karena itu, ia mengajukan protes ke Kapolri dan mengadukan persoalan ini ke Komnas HAM serta DPR-RI. “Kapolri Jenderal Sutanto harus bertanggung jawab atas tindakan anarkis anak buahnya di lapangan,” katanya. (kmb5/kmb4)

A man Behind Indonesia Democracy

It was no doubt if finally President Abdurachman Wahid put Bodan Gunawan as State Secretary Minister, a position that closest to him. I put his photo in my blog to remind Indonesian that Bondan Gunawan is a man behind Indonesia Democracy since long time before everybody awaked in the era of  Suharto administration.

Further :

Bondan Gunawan

Garis Hidup Si Nasionalis
Dia relatif tidak lama berada di elit puncak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Kabinet Persatuan 1999-2001). Sebagai Sekretaris Pengendali Pemerintahan, lalu Pjs Menteri Sekretaris Negara. Karirnya meredup setelah terkuak isu bobolnya brankas Yayasan Karyawan Yanatera Bulog senilai Rp 35 milyar.

Namun dalam waktu sesingkat itu dia berhasil menorehkan satu langkah kecil namun spektakuler, yaitu masuk ke sarang dan menemui panglima tertinggi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) yang sangat disegani, yakni Teungku Abdullah Syafei (kini almarhum) saat lebaran Idul Adha 2001.

Tidak ingin membebani bosnya menyelesaikan masalah, Bondan lebih dahulu berinisiatif mengundurkan diri dari pemerintahan sebelum MPR akhirnya melengserkan Gus Dur. Lelaki kelahiran Ngabehan, Yogyakarta 24 April 1948 ini memang dikenal sangat dekat betul dengan Gus Dur terlebih setelah Forum Demokrasi (Fordem) berdiri. Fordem yang didirikan dan dipimpin Gus Dur, adalah kelompok diskusi yang dianggap sebagai antitesa atas pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie ketika itu. Bondan terakhir kali Ketua Kelompok Kerja Fordem menggantikan Gus Dur.

Bondan mengatakan merasa cocok dengan kyai Gus Dur meskipun antar keduanya suka berbeda pendapat. Uniknya, menurut pengakuannya, justru karena perbedaan pendapat itulah maka mereka menjadi satu. Menjadi satu dalam Pokja Fordem lalu berkenalan secara intens dengan komunitas luas politik. Gus Dur pun menjadi tidak ragu mengajak ayah dua orang anak Purwendah Sekarhapsari dan Bondan Kanumuyoso ini ke Istana ketika kesempatan itu ada.

Antara keduanya memang telah terjalin lama persahabatan. Persahabatan itu semakin dikentalkan oleh politik aliran yang masing-masing mereka anut. Gus Dur dengan paham keagamaan berbasis Nahdlatul Ulama (NU), sementara Bondan adalah nasionalis tulen. Dan antar kedua aliran dalam sejarah perpolitikan nasional adalah dua saudara tua yang sangat dekat. Bondan, yang adalah adik Brigjen (TNI) Katamso Dharmosaputro, Komandan Korem 072/Pamungkas yang diculik dan dibunuh oleh pelaku peristiwa Gerakan 30 September 1965, menghabiskan masa kecil dan remajanya di Yogyakarta.

Sejak masa kecil itu dia sudah aktif di berbagai organisasi. Ketika SMA, misalnya, ia aktif di Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), sebuah organisasi beraliran nasionalis yang pro Bung Karno.

Walau singkat namun Bondan meninggalkan catatan yang takkan terlupakan saat memasuki markas AGAM dan menemui langsung panglimanya Teungku Abdullah Syafei. Dunia luar ikut pula mencatatnya sebab inilah kali pertama seorang petinggi resmi pemerintahan pusat mau bertemu dan berbicara dengan tokoh GAM. Banyak pihak ketika itu berharap pertemuan itu akan menjadi awal “rekosiliasi” antara GAM dengan Pemerintah RI agar keduanya tidak lagi mengambil posisi berhadap-hadapan. Bondan lalu bersuara, GAM yang dipersepsi begitu angker dan beringas dianggapnya sebagai saudara, bukan musuh.

“Saya menganggap mereka sebagai saudara, bukan musuh,” ujarnya. Dalam perjalanan selanjutnya Bondan menjadi salah seorang yang cukup intens mengurus penyelesaian masalah Aceh. Ia kerap mengadakan pertemuan-pertemuan dengan kalangan tokoh masyarakat Aceh.

Penyelesaian Aceh memang belum tuntas hingga kini, sekalipun Operasi Kemanusiaan telah berjalan memasuki enam bulan kedua. Namun ketika pernah ditangani Bondan sebuah hasil riil yang mengarah ke penyelesaian rekonsiliasi pernah dicapai, yakni saat ditandatanganinya kesepahaman bersama (MoU) mengenai jeda kemanusiaan, di Swis. Jeda kemanusiaan sesungguhnya adalah modal awal menuju ke penyelesaian menyeluruh.

Masuk ke sarang AGAM dan mundur sebagai pejabat pemerintah menjadi simplikasi kiprah singkat Bondan Gunawan. (Pernah tersiar kabar bahwa Bondan berniat menjadi Sekjen PDI Perjuangan dalam kongres di Semarang, namun terpilih yang akhirnya adalah Sutjipto. Rumors sepak terjangnya merebut kursi orang kuat kedua partai PDIP setelah Megawati Soekarnoputri hilang begitu saja).

Bondan akhirnya menentukan pilihan untuk menjadi “orang bebas”. Senin malam 29 Mei 2001 dia mengumumkan pengunduran dirinya dari Pjs Sekretaris Negara serta Sekretaris Pengendalian Pemerintahan. Kepada pers dia mengatakan mundur karena mendapat banyak serangan. “Dan, saya tidak mau menjadi beban bagi Presiden yang notebene teman saya,” kata Bondan, masih menujukkan sikap romantisme dengan sohibnya Gus Dur.

Gus Dur pada akhirnya memang lengser. Namun saat mengumumkan mundur, Bondan mengatakan masih berkeinginan kuat untuk tidak diam saja terhadap berbagai tantangan yang dihadapi presiden. “Saya bisa melakukan berbagai improvisasi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan saran-saran yang perlu untuk Presiden,” ujarnya kala itu dengan tenang tetapi lugas. ► haposan tampubolon