Indonesia Negara Sekulair atau Negara Berdasarkan Agama?

Dari sejak awal berdirinya negara Republik Indonesia, pergulatan untuk memperebutkan kekuasaan negara, hingga saat ini, tak pernah berhenti. Terutama pergulatan ingi mendirikan negara berdasarka agama dan sekulerisme. Rupanya tidak cukup jelas dan tidak dapat di fahami, kalau UUD 1945 itu tidak tegas  dalam menggariskan garis ideologi negaranya.

Jaman Orde Lama, kehidupan perpolitikan begitu bebasnya, sehingga ideologi apa saja bisa diperjuangkan melalui ranah politik supaya dapat berkuasa. Peserta pemilu bukan saja dari partai2 politik dari berbagai latar belakang ideologi, tetapi perwakilan perorangan pun,dengan ideologinya sendiri, bisa ikut pemilu 1955. Produknya melahirkan kabinetT 100 menteri sebagai representasi dari berbagai kekuatan politik waktu itu.

Tetapi akhirya pemerintahan Bung Karno harus kandas pada tahun 1965.

Regim berganti kepada Pemerintahan Suharto, melalui dasar Surat Perintah 11 Maret itu. Peserta Pemilu mulai di batasi, yaitu kelomok2 partai agama dan kelompok partai nasionalis, jumlah peserta pemilu ke dua adalah 9 parpol dan Golkar. 10 kontestan. Tetapi  kemudian regime Suharto berhasil mem-fusi-kan partai tersebut menjadi tiga kelompok; Yaitu partai yg berideologi Islam yg tergabung dalam PPP (yaitu terdiri dari MI, SI, Perti dan NU), Partai Yg berideologi Nasioalis ala PDI-P (PNI dan Partai2 Kristen/Katolik serta Murba- yg berbau komunisme) dan Golongan Karya (yg tidak jelas arah idiologinya).

Setelah berhasil Suharto menyederhanakan Partai yg banyak menjadi 3 partai tersebut, kemudian manuver lainnya, Suharto, menetapkan azas semua partai dan Golkar dengan satu-satunya azas yaitu Pancasila, walau bisa diterima, tetapi melalui pertentangan yang sangat sangit.

Disaat itulah Pemerintahan Suharto di tuding oleh kelompok beragama,sebagai pemerintahan sekulair, sehingga telah memicu berbagai perdebatan dan protes, tetapi Pak Harto  tetap pada pendiriannya. Sejarah tidak mulus rupanya, Suharto dituntut mundur oleh berbagai aksi protes Mahasiswa.

Sekarang rezim sudah berganti, iklim politik sudah berubah, tetapi perjuagan mendirikan negara berdasarkan agama itu tetap ada dan bisa di cium, yaitu dengan hadirnya parpol2 Islam seperti PKS, PKB, PAN, dan PPP. Memang  partai-partai tersebut tidak akan secara frontal menolak bedirinya negara yang berdasarkan agama, tetapi kalau terjadi berdiri negara berdasarkan agama karena keberhasilan salah satu partai itu tadi,  tentu partai yang lain ibarat ikan di lempar ke sungai, ia akan berenang kesana kemari dan menari menari juga di habitatnya.

Sebagai catatan bahwa raihan suara kumulatif dari partai2 islam mulai sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014, tdk pernah lebih dari 33%, begitu juga Partai Yg nasionalis a’la PDI-P, raihan suaranya sekitar 20%.Selebihnya swing voters.

Pertanyaan nya apakah mau negara berdasarkan agama atau sekulair? Nah, sekarang iklim berpolitik sudah ditetapkan “berdemokrasi” dan sangat liberal sekali,  jadi silahkan saling berjuang and try to win people hearts, sebagai pemegang kedaulatan.

One thought on “Indonesia Negara Sekulair atau Negara Berdasarkan Agama?

  1. Indonesia Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler

    Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengadakan “Temu Wicara” dengan para pemimpin gereja dan lembaga pelayanan Kristiani mengenai Pancasila dan Konstitusi, sebagai kerjasama MK dengan Institut Leimena. Acara yang berlangsung di Hotel Sultan – Jakarta (19-21 Februari 2010) ini dihadiri oleh 187 peserta, yang mayoritasnya adalah para pimpinan teras sinode gereja dan lembaga pelayanan Kristiani dari 30 propinsi di Indonesia.  Edisi ini khusus mengangkat laporan Temu Wicara tersebut.

    Akibat Orde Baru, orang bosan dengan istilah ‘Pancasila’ karena penggunaannya yang berlebihan, mulai dari ekonomi Pancasila hingga sepakbola Pancasila. Tapi di jaman Reformasi ini, Pancasila kembali menjadi sesuatu yang sangat penting karena Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia yang membangun negara di tengah kemajemukan. Demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Mahfud, M.D., Ketua MK  dalam pidato pembukaan Temu Wicara ini.

    “Demokrasi diperlukan oleh sebuah negara yang terdiri dari banyak ikatan primordial, agar setiap warga negara punya peluang yang sama dalam menyatakan aspirasi politiknya. Di sisi lain, negara  juga membutuhkan integrasi, dimana berbagai kegiatan primordial itu harus utuh dan bersatu. Padahal demokrasi dan integrasi bertentangan karena demokrasi membiarkan orang berbeda pendapat, sedangkan integrasi memaksa orang untuk bersatu. Ketika India membangun demokrasinya, timbul perpecahan sehingga muncullah negara Pakistan,   tapi Indonesia sudah menyatakan diri negara demokrasi yang mampu menjaga integrasi untuk bersatu dengan diikat oleh Pancasila sebagai ideologi negara.

    Karena itu dalam kehidupan tata hukum, Pancasila menjadi kaidah penuntun pertama ketika melahirkan berbagai kebijakan dan politik hukum nasional untuk menjaga integrasi. Artinya, tidak boleh ada hukum atau kebijakan yang merusak keutuhan negara ini,” jelas Mahfud yang lalu menyatakan dua fungsi MK yaitu, mengawal supaya jangan ada hukum yang memberi peluang atau berpotensi untuk memecah kita sebagai bangsa. Kedua, membangun demokrasi serta nomokrasi (supremasi hukum, yang pada tingkatan tertingginya ada pada konstitusi-red). 

    “Dulu sebelum bertugas di MK, saya pernah diserang karena menyatakan bahwa keputusan-keputusan politik yang dibuat berdasarkan suara terbanyak tapi salah (secara hukum-red) harus tetap dibatalkan. Saat ini misalnya, sudah ada 207 kabupaten yang membuat perda-perda yang berdasarkan agama. Saya katakan itu tidak boleh. Negara tidak boleh mewajibkan ajaran agama kepada rakyat. Misalnya: Sulawesi Selatan buat Perda berdasarkan syariah. Secara demokrasi itu benar, tapi secara nomokrasi salah karena mengancam integrasi ideologi.

    Saya juga protes pada DPR ketika dulu ada UU tentang kekhususan Aceh. Secara demokrasi mungkin benar, tapi secara nomokrasi kurang benar karena mengandung benih-benih ancaman terhadap integrasi teritori.  Nanti orang Bali buat Perda Hindu, lalu orang-orang di Sulawesi Utara, NTT, dan Papua juga buat Perda agama sendiri-sendiri. Hancurlah negara ini.  Tanpa nomokrasi, demokrasi bisa menang-menangan. Karena itu MK banyak membatalkan keputusan-keputusan politik yang sudah diambil secara demokratis.  Sebab walaupun menang secara demokrasi tapi tidak menang secara nomokrasi,” jelas Mahfud yang lalu mengingatkan tentang pentingnya Pancasila sebagai pemersatu.

    “Jangkar negara dan bangsa kita adalah Pancasila, yang merupakan dasar penuntun kehidupan kita dalam bernegara. Dulu mungkin orang mengatakan ini terlalu berlebihan, tapi saya melihat Pancasila sebagai penyelamat. Saat mau pecah dan ribut, akhirnya kita kembali ke Pancasila dan kita rukun lagi. Kita bukan negara agama, dan bukan juga negara sekuler, tapi negara Pancasila yang mempertemukan demokrasi dan nomokrasi. Kita adalah negara kebangsaan yang berketuhanan,” ujar Mahfud yang menandaskan  bahwa seseorang tidak boleh merasa terganggu dalam melaksanakan keyakinannya sendiri.

    “Karena itu negara harus memberikan proteksi kepada pemeluk agama yang ingin melaksanakan agamanya dengan baik.  Tapi negara juga tidak boleh memberlakukan hukum agama itu sendiri. Di sinilah kaitan antara Pancasila dan konstitusi,” ujar Mahfud yang mengakhiri ceramahnya dengan menegaskan bahwa Pancasila adalah nilai bersama yang dilahirkan oleh kita bersama, dan karena itu dapat menjaga kerukunan kita sebagai bangsa.**  

Leave a comment