Renungan Buat Para Dewa

Sengketa berbagai Pilpres akhirnya, ditentukan nasibnya di bawah keputusan Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Calon-calon Dewa ini, ternyata bisa berjuang melalui lembaga ini, walau kalah di arena perang tanding suara rakyat. Buruknya system penyelenggaran ketata negaraan ini, semakin  tampak dimata kita dan semakin menyulitkan kita, dari sudut  mana kita bisa memperbaikinya.

SAMSUNG CSC 

Tetapi entah tekad apa yang menggelora, karena Dewa sekalipun, dalam sistim Pilpres/Pilkada seperti saat ini, sulit melahirkan pimpinan yang mumpuni. Banyak fakta, Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih karena populeritasnya, yang tak ada kaitannya dengan keperluan menyelesaikan daerah yang akan dipimpinnya.

Coba kita urut masalah-masalahnya seperti berikut ;

Pertama, Pilpres/Pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala Negara/ daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala Negara/daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen Pilpres/pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidak mampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik.

Kedua, proses pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena formasinya bisa dilakukan secara beragam. Misalnya,Capes/ kepala daerah diusung dari PDIP dan wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam sistem satu paket, variasi pasangan bisa dari latar belakang yang berbeda. Saat proses pencalonan sampai pada pemilihan tidak ada masalah, namun ketika pasangan itu terpilih dan kemudian memimpin pemerintahan terjadi konflik kepentingan karena berbagai faktor seperti: kewenangan tidak bisa diimplementasikan secara efektif, kepala daerah/wakil kepala daerah bisa dikendalikan kepentingan partai politik, rebutan pengaruh kekuasaan dan kepentingan rebutan proyek.

Ketiga, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon Presiden/kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU hanya mensyaratkan 25 %. Ketentuan ini telah menyebabkan terjadinya proses delegitimasi terhadap kepemimpinan kepala daerah. Dengan ketentuan ini seorang kepala daerah bisa terpilih dengan modal dukungan hanya sekitar 25 % dari total pemilih, artinya 75 % pemilih sesungguhnya tidak memberikan dukungan terhadap kepala daerah terpilih.

Keempat, ketimpangan dukungan politik dari  DPR/DPRD. Calon Presiden/kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPR/DPRD. Misalnya, calon terpilih dari PDIP, sementara di DPRD yang menguasai mayoritas adalah Partai Golkar. Apa akibatnya? Jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang untuk “dimain-mainkan” bahkan sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya. Juga, sangat berpeluang terjadi disharmonisasi antara kepala daerah dengan DPRD; yang terjadi bukan bagaimana mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi adalah bagaimana memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat (the politics of opportunities).

Kita tidak dapat membayangkan bila calon independen mememangkan pertarungan iini. Omong kosong kalau kepentingan rakyat di tolak partai-partai di DPRD!!!.

Kalangan anggota DPRD merasa sebagai penguasa politik tunggal di daerah yang mengendalikan eksekutif. Saat sama, pemilik atau pengelola uang daerah, sebagaimana fungsinya, adalah pemerintah daerah (pemda). Parahnya, sebagian besar (untuk tidak dikatakan semua) anggota DPRD kondisi sosial ekonominya rentan, sementara mereka mengendalikan pihak yang memiliki atau mengelola uang (pemda). Maka, tidak heran bila perasaan berkuasa diekspresikan dengan melakukan berbagai tekanan terhadap gubernur/bupati/wali kota atau jajaran pejabat pemda lain sehingga bisa memperoleh uang atau bentuk-bentuk kompensasi materi lain bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam kondisi seperti itu, bila pihak pemda bersifat kooperatif dalam arti memahami kehendak terselubung para anggota DPRD, maka gubernur/bupati/wali kota akan selamat dari ancaman impeachment. Tetapi, saat itu pula konspirasi yang menyalahgunakan uang negara/rakyat terjadi, karena untuk saling menyelamatkan dan memuaskan tiada lain kompensasinya adalah uang. Proses-proses konspirasi dan penyalahgunaan uang itu berlangsung amat tertutup atau tak bisa secara langsung dipantau masyarakat luas. Sebaliknya, bagi gubernur/wali kota/bupati yang tak bisa memuaskan atau memenuhi kepentingan materi anggota DPRD, maka akan selalu dibayang-bayangi upaya impeachment. (Laode Ida, 2002)

Kelima, batas-batas kewenangan pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas, sehingga kekuasaan menjadi terpusat di Presiden/kepala  daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik. Fenomena rolling pejabat struktural di pemda dan distribusi alokasi anggaran dalam APBD sangat ditentukan oleh otoritas kepala daerah. Suasana pemerintahan menjadi tidak kondusif dan tidak efektif karena dikalangan pegawai pemda dihantui penuh ketidakpastian jenjang karier.

Kampanye Membohongi Rakyat

merah putih

Saya pikir, Pidato Presiden pada tanggal 15 Agustus 2014 yang lalu, di depan sidang Paripurna DPR RI itu, adalah pidato evaluasi pembangunan yang telah dilakukan dan atau yang belaum tercapai oleh Pemerintahan SBY selama 5 tahun yang lalu. Jadi bingung, koq yang di sampaikan dalam pidato bagus itu adalah, “Pengartar RAPBN tahun 2015”. Sempat terlintas, apakah memang ia mau kembali melanjutkan pemerintahannya lagi?

Inilah praktek ketata negaraan yang sangat aneh menurut saya. Bayangkan kalau Presiden yang akan berkuasa mulai pada bulan Oktober 20, 2014 yad itu, berbeda program, bahkan bisa jadi bertentangan dengan program yang telah ditetapkannya itu?!.

Pada sisi lain, saat kampanye kemarin dulu, Capres-capres tersebut, gigih menyampaikan program-program baru kedepan kepada jutaan rakyat, yang di harapkan, karena itulah rakyat dapat memilihnya. Tetapi saat berkuasa, yang di jalankan adalah justru program-program yang disusun oleh Pemerintahan sebelumnya, yang sama sekali tidak ada kaitan dan hubungannya dengan Pemerintahan yang akan datang itu.

Mengapa bisa terjadi seperti ini?

Selidiki punya selidik, rupanya sejak tahun 2004, telah lahir UU no. 25/2004, ttg Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yaitu satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah[1]. Sistem ini adalah pengganti dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mulai berlaku sejak tahun 2005 [2].

Pertanyaan kemudian adalah, untuk apa para Capres di wajibkan menyampaikan Visi dan Misinya serta tentu program2 kerjanya? Padahal RAPBN disusun bersama masyarakat, yang telah ditetapkan mekanismenya, seperti pada Musrenbang (musyawarah rencana pembangunan), yang anggotanya adalah semua unsur yang ada di masyarakat sbg stake holders dan pemerintahan pusat maupun daerah.

Pertanyaan berikutnya, bukan kah kampanye capres-capres itu, adalah menyampaikan program program kerja tersebut sebagai “kontrak social” ? Jangan biarkan kampanye Capres 2 tersebut, mejadi kebohongan karena produk system yang buruk.

What If

Busienss is everywhere copy

Awal kejadiannya di salah satu hotel di Singapore, nama hotelnya hotel Miramar. Karena miss management, lantas hampir dinyatakan hotel tsb collapse dan mau ditutup. Sampai akhirnya si GM memanggil seluruh karyawan dan menuturkan bahwa hotelnya sedang menuju kehancuran. Dalam pertemuan tersebut diulang-ulang, bahwa Management menerima berbagai saran dan usulan, mengenai penyelematan hotel tersebut. Sudah barang tentu, upaya menyelematkan ini dilakukan juga dengan berbagai pertemuan bersama para senior managernya.

Suatu hari, datanglah seorang make up room boy ke ruangan General Manager. Make Up Room Boy adalah staff hotel yang paling bawah levelnya, dan bertugas hanya membersihkan kamar tidur dan kamar mandi didalam kamar hotel tersebut. Si Make Up Room Boy tersebut menyampaikan pikirannya kepada General Manager, sebagai berikut : ” Bagaimana kalau (What if), para tamu tidak mengganti handuk, sprei dan selimbut setiap hari?”, tanya nya. Si GM langsung terpernjat dengan gagasan staff nya yang paling bawah tersebut, karena memang kerugian hotel, atau lost, yang terbesar adalah dari Loundry Department.

Si GM kemudian mem folow up nya, dengan melakukan serangkaian wawancara kepada tamu hotel, bila gagasannya bisa diterima, yaitu “bagaimana kalau (what if) tidak mengganti handuk, sprei dan selimbut setiap hari?”. Hasil survey ternyata hampir 90% tamu tidak berkebaratan!.

Akhirnya, dengan rumus tersebut Hotel Miramar menjadi maju kembali, dan eksis sampai sekarang, karena bisa menghemat menurunkan tingkat lostnya hingga 75%. dan sejak itu pula, hotel-hotel di seluruh dunia, membuat warning tag di setiap kamar mandi, untuk menghemat penggunaan sabun, shampoo, dll dengan dalih environmental care.

Selamat mencoba “what if” dalam menyelesaikan masalah anda!.

To Understand Indonesian from their Ear, Mouth and Colour

tampaksiring pemuda1While working for a radio station many years ago, class distinction through advertising became apparent. The interesting things about Indonesian is that they can be traced by their daily behavior – what they wear, hear, eat and speak are related to their social status. The big economic gap among them has shaped them into three social groups- lower, middle and high class. Simply, if an Indonesian who listens to Jazz you can comfortably say he comes from the higher class while those who listen to local music called Dangdut, they come from the lower classes.

In addition, radio station that air Jazz music reach small number of listeners but from high income bracket while the station that broadcasts Dangdut music reach the lower stratas of society.That`s why banks or Airline or Car manufacturing companies will not put their commercials on radio stations that play Dangdut music. And it can also be said that energy drink products won’t be advertised on the higher income stations. There’s class distinctions. Just turn the dial of the radio station and see how Indonesians are being catered for by the advertisers. There’s some very specific marketing going on here.

Apparels design, color and materials selection tell who Indonesian belong to social group are. These segmentation also reflect to their thoughts, values and behaviors that basically have been shaped by education and background.

Kasihan Indonesiaku

Saya terkagum kagum, ketika akan berangkat ke Bangkok dari Udan Tani, Provinsi yang berbatasan dengan Negeri Laos, tiba-tiba semua orang berdiri, mendengarkan lagu kebangsaan Thailand. Ia di putar lewat pengeras suara airport. Konon katanya hampir tiap hari, rakyat Thailand diperdengarkan lagu tersebut, sebagai bagian dari upaya menanamkan Cinta kepada Tanah airnya. Begitu juga di Singapore, di sekolah-sekolah di ajarkan how to be a good Singaporean. Pun di Amerika, ada program yg menggelorakan semangat dan bangga menjadi American.

Saya berfikir, kenapa di Indonesia tdk bergema hal tersebut. Padahal kita tahu, bahwa NKRI itu sangat rentan dengan perpecahan. Karena soal cewe saja diganggu, belum sempat di sakiti apalagi diperkosa, menyebabkan terjadi pertarungan antar kampung, hingga mebakar bakar rumah sekampung. Ini pernah terjadi di lampung. Tawur antar pelajar di kota-kota besar bisa menjadi benih perpecahan. Perbedaan etnis, ras dan agama, banyak tercatat mengakibatkan clash, seperti yg pernah terjadi antara umat Islam dan Hindu, juga terjadi di lampung, daerah yg justru sdh lama berbaur multi etnis dan suku.

Sebenarnya tugas siapa merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa ini? Begitu saya tanyakan kepada Guru saya. “Ini tugas Pemerintah”, kata guru saya. Lalu kenapa tdk dilakukan?, lanjut tanya saya. “Kalau Negara melakukan hal itu, maka rakyat akan marah besar”, jawabnya tegas. Kenapa? kata saya. “Karena Pemimpin tidak pernah memberikan suri teladan dan contoh yang baik”, begitu jawab guru saya.