Adzan

An European friend of mine, The G. Wagner, who have been long stay living with Indonesian neighborhood in the north of Bandung, frustrating with was very high noisy volume loud speakers, bad sound system and also almost more than 5 times a day. This coming from the Mosque near by his house.

Moslem have obligation to perform at least five times a day to pray, which are at around 4.30 am, 1200am, 03.30am 17.50 pm and 1900pm. So almost every mosque here utters called Adzan (Pray Call) as high as possible with the assumption can be heard by every moslem elsewhere. Of course there is not every mosque can prepare someone who has a good voice and sing beautiful adzan song , then anyone can do that to sing the adzan.

“Look at that Ali, if only five times a day and each only five minutes that was fine. But near my house people call for pray at 02.30 am with high volume. And what another worst were if early in the morning and in the late afternoon, the young kids using high mosque microphone and sing very bad song, no good tune, no melody and very bad voices as well, and that was terible thing”, Wagner complaining. “For me that was not expressing praise to the God but that was humiliating God”, he added.

Wagner measured on how the people do in the church, but here in Indonesia since it is praising to the God the ability to sing does not important, but people accepted it.

Although vice President Budiono in his address to Board of Indonesia Mosque Meeting, implied that adzan was so nice to hear in softly voice and from far away, he wanted to regulate.

But, this is in Jakarta, a Dutch guy, who lived in an apartment , complained to imam about the call of prayer, “Can you keep the noise down!” the imam said you need to respect local customs, and if the Dutch man didn’t like it, He should move. The imam could have got angry and told the locals and had the Dutch man raced out of town. Instead, He didn’t get angry and told the man He should find a quiet apartment.

Pelarangan Lady Gaga Karena Kedangkalan Pemahaman Budaya

Ketika Jepang dilanda krisis Ekonomi, kemudian Kaisar bertanya “ada apa yang salah dengan budaya kita”. Itulah sikap arief dari seorang kaisar yang sangat memahami secara benar akan arti dan pentingnya eksistesi Budaya dari suatu bangsa. Apakah kemudian kita membenarkan dan merestui tidak diberi ijinnya Lady Gaga melakukan konser di Indonesia, atas alasan menghindari kehawatiran berbenturan antara kedua peradaban dan karena budaya yang berbeda!?.

Sikap Habib Rizieq, Pimpinan FPI, yang merasa kebakaran jenggot atas rencana kehadiran Lady Gaga ke Indonesia dan dituding sebagai penyebabnya serta desisi Polisi melarang digelarnya konser disebut adalah karena pemahaman Budaya yang lemah dan tidak berdasar. Pemahaman Budaya yang sempit dan tidak ajeg inilah yang justru mengkerdilan bangsa Indonesia dimata masyarakat dunia. Sekali lagi kelompok Islam di Indonesia telah ditunding sebagai sesuatu yang rigid dan pemeritah yang tidak punya visi kebudayaan nasional. Karya Seni yang tinggi tidak bisa dinikmati oleh masyarakat awam.

Lady Gaga, penganut agama Karbala-agama pada umumnya artist Hollywood, dia tidak peduli kepada honor yang ia akan terima, yang ia fikirkan adalah expressi karya seninya yang indah. Dan pengakuannya, satu satuya show yang paling sukses adalah di Jepang, karena masyarakat Jepang adalah pengagum karya seni yang tinggi.

Coba kita pelajari, apa yang terjadi di Bali saat sekarang. Bali telah menjadi tujuan wisata dunia. Semua warga dunia bercita-cita ingin berkunjung ke Bali. Jadilah saat ini berbagai bangsa ada di Bali. Tentu bukan saja mereka bukan hanya sekedar berlibur, berjemur diri di pantai, nginep, makan dan minum tetapi juga membawa budaya mereka di Bali. Turis turis yang nudis di pantai pantai-panati publik hilir mudik kesana kemari, mabuk-mabukan, narkoba bahkan dan yang berperilaku tata busana yang tidak santun, yang di negara justru tidak dilakukan, menjadi pemandangan dan ciri turis di Bali yang biasa terlihat sehari hari. Kejadian situasi ini di mulai sejak tahu 1975.

Apa yag terjadi dengan masyarakat Bali dengan berbenturan lama anatara nilai-nilai budaya asing dengan budaya setempat tersebut? Rusakah struktur budaya dan sistim nilai orang Bali?

Sejak turis datang di Bali, masyarakat Bali menikmatinya. Peluang berbagai usaha terbuka luas dan ekonomi tumbuh. Oleh karena itu berbagai upacara agama yang udah membudaya yang sarat dengan pengeluaran uag yang tidak sedikit, bisa di gelar di seuruh Bali. Pura-Pura bukan saja yang ada di banjar-banjar, bahkan hingga ke Pura Pura pribadi pun di bangun hampir setiap rumah. Sesajen sejaten semarak dimana-mana. Dan tentu saja, berbagai kesenian Bali, dari mulai tari menari, gamelan, ogoh-ogoh, kecak dan legong terus semarak, hampir bagai festival harian ada sepajang tahun. Budaya Bali makin menkristal, turis turis malah berpakaian Bali, Belajar life style ala Balian, dan seterusnya.

Last but least, para pelacur yang datang ke Bali pada umumnya justru dari Pulau-Pulau terdekat seperti dari Pulau Jawa.

Indonesiaku Aneh Sendiri

Ketika Indonesia menganut system Parlementer, pada jaman Orla dan Orba, artinya rakyat memilih partai politik pada setiap pemilu. Apa yang terjadi? Di Jaman Orla, terjadi hal yang aneh, saat pelaksanaan Pemilu 1955. Dari sekian peserta Partai Poliktik Pemilu tersebut, ada diikuti oleh peserta no. 28, yaitu peserta non partai alias perorangan. Ia adalah R. Soedjono Prawirisoedarso dan berhasil duduk sebagai anggota konstituante.

Pada era Orde Baru, Presiden Suhartolah yang mengklaim, “melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara Murni dan Konsekuen”. Apa yang terjadi? Partai pemenang pemilu, selama 6 kali, Golkar, tidak otomatis menempatkan ketua Umumnya/Pimpinan yang tertingginya menjadi Presiden/Perdana menteri. Karena Presiden harus dipilih pada sidang Umum MPR RI. Lazimnya (fatsoen system parlementer), partai pemenang pemilu otomatis menjadi Pemimpin pemerintahan. Akhirnya kejadian seperti Gusdur yang datang dari partai kecil, PKB, berhasil dipilih menjadi Presiden RI. Walau kemudian di jatuhkan kembali oleh pemilihnya!. Presiden Habibi ditolak laporan pertanggung jawabannya oleh Partainya sendiri, sehingga tidak bisa mencalonkan kembali sebagai Presiden.

Pada era reformasi, system politik sudah berganti dari system parlementer ke system presidential. Disini lebih banyak lagi hal yang aneh. Calon Presiden boleh koalisi antar partai-partai. Akhirnya ketika berhasil menjadi Presiden dan wakilnya, menjelang pemilu berikutnya,Presiden dan wakilnya bersaing untuk berebut kursi Presiden. Terjadi pada waktu Megawati dan hamzah Haz, pemilu 1994. dan SBY-JK pada waktu pemilu 1998.

Di DPR terjadi koalisi Partai-partai pendukung SBY dan oposisi kepada the ruling Party. Hal ini hanya lazim terjadi dalam system Parlementer. Didalam system Presidential Rakyat tidak memilih partai, melainkan nama perorangan, tetapi di DPR terbentuk fraksi-fraksi parpol.

Apalagi Coba yang Aneh?

Bangsa Ini Gagal Meremuskan Demokrasi Ekonomi Indonesia

Baru saja kita melewati gonjang ganjing pro dan kotra naiknya harga BBM. Apa yang dapat kita simak yang melatar-belakangi kebijakan naikya harga BBM terebut, tiada lain karena dipicu oleh naiknya harga miyak dunia. Karena harga minyak dunia naik, maka harga BBM didalam negeri pun tak terelakan lagi harus disesuaikan. Ini bukti bahwa sistem ekonomi kita menganut system eknomi pasar.

Berbeda ketika diera Suharto, ekonoi kita terpimpin. Artinya pemerintah dapat melakukan intervensi pasar, sehingga harga-harga bisa di kendalikan. Kita masih ingat bagaimana Bulog melakukan operasi pasar, ketika harga-harga melambung tinggi, untuk mengendalikan harga pasar yang dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Tetapi kemudian Bulog dilikuidasi, sehingga pemerintah tidak punya kuasa lagi mengendalikan pasar.

Kita dapat menyaksikanya, walau harga BBM belum di naikan, tetapi harga harga di pasar sudah mendahului naik, dan pemeritah tak berdaya apapun untuk mengendalikan harga pasar tersebut. Dua kasus tersebut memberi isyarat bahwa konstitusi kita tidak dapat memberikan arah yang jelas, hendak kemana eknomi bangsa ini akan dibangun. Apalagi bila kita simak Peraturan Presiden no.54/2010, tentang Pengadaan Barang dan Jasa, bahwa ketiga pelaku ekonomi nasional yaitu, BUMN, Usaha Swasta dan Koperasi, diberi peluang untuk bersaing mendapatkan proyek-proyek pemeritah dengan equal. Tidak ada keberpihakan pemerintah, terutama kepada usaha kecil apalagi kepada swasta. Sehingga patut kita pertanyakan niat pemernitah mengembangkan usaha kecil dan Koperasi itu, seperti apa. Bagaimana usaha swasta dan koperasi bisa berkembang, bila harus beraing dengan BUMN yang dimodali oleh uang negara, di dukung oleh peraturan monopoli dan sama-sama mencari keuntungan dari rakyat.

Sebenarnya Konstitusi kita menetapkan pasal khusus yaitu tentang pentingnya Koperasi, tetapi dalam praktenya, koperasi diartikan sebagai institusi usaha kecil. Salah faham memahami koperasi sehingga terjebak kepada arti harfiahnya, yaitu kelembagaan Koperasi sebagai badan usaha kecil. Padahal semangat koperasi yaitu usaha bersama dan gotong royong, tidak menjadi ruh dari upaya pemerintah dalam rangka mensinergikan seluruh potensi ekonomi bangsa untuk mensejahterkan rakyat dan bangsa Indoneia. Coba bila kita simak seperti perusahaan besar di Jepang, umpamanya perusahaan kendaraan Toyota. Bila Toyota bermasalah, maka yang akan turun tangan adalah pemerintah, karena di balik Toyota terdapat ribuan usaha kecil sebagai suplayer spare parts untuk pabrik tersebut Inilah semangat ekonoi Koperasi. Sebenarnya koridor membangun Dmokrasi Ekonomi Indonesia, dpat kita rumuskan secara sederhahana, berorientasi kepada kesejahteraan rakyat Indonesia (sila ke 5 Pancasila), Peran institusi negara penting (artiya tidak menyerahkan kpd mekanisme pasar), Semangatnya adalah Gotong Royong/Koperasi), Kedaulatan ekonomi ada di tangan rakyat.